Agar Pemilu 2009 Lebih Berkualitas
Oleh: dr Robert Valentino Tarigan SPd
Pemilu (pemilihan umum) 2009 segera datang, hanya berkisar delapan bulan lagi. Harapan seluruh rakyat Indonesia, pemilu 2009 lebih berkualitas sebagaimana tuntutan demokrasi. Kalau saja KPU (Komisi Pemilihan Umum) dan jajarannya serta kontestan pemilu taat dengan undang-undang, niscaya pemilu 2009 akan lebih baik dari pemilu 2004.Oleh: dr Robert Valentino Tarigan SPd
Riak-riak – dan nyaris jadi gelombang besar – terjadi ketika itu (2004) karena KPU tidak taat pada undang-undang serta peraturan yang ada. Untuk itu ada baiknya kita mengambil pelajaran berharga dari pemilu tahun 2004 lampau agar pemilu tahun 2009 lebih berkualitas.
Dari ketiga pemilu pada tahun 2004 itu, pilpres (pemilihan presiden) putaran kedua dapat dianggap yang paling aman dan demokratis. Maka, sangat wajar pilpres putaran kedua yang berlangsung pada 20 September 2004 tersebut mendapat pujian hangat dan luas di dunia. Gedung Putih, Tokyo, dan negara-negara kaya anggota Kelompok 8 lainnya mengangkat topi serta menghargai hasil pemilu yang dilaksanakan secara partisipatif, transparan, jurdil, dan berlangsung dengan tertib juga aman.
Kecurigaan-kecurigaan sebagaimana pilpres putaran pertama 5 Juli 2004 dan pemilu legislatif 5 April 2004, hampir tak terdengar.
C1 Tak Diberikan
Untuk pemilu legislatif 2004, kecurigaan terjadi karena rekapitulasi model C1 tak diberikan kepada peserta pemilu padahal undang-undang yang ada mengharuskan hal itu. Untuk pemilu pada 2009 nanti kita berharap hal tersebut tak terjadi lagi. Sebab, Undang-undang Nomor 10 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD Tahun 2008, di samping mengharuskan rekapitulasi model C1 diberikan kepada peserta pemilu (saksi) segera setelah perhitungan suara selesai, juga ditempel (diumumkan) di papan pengumuman oleh PPS (Panita Pemugutan Suara) dari tingkat TPS (Tempat Pemugutan Suara) hingga ke Provinsi.
Disarankan agar semua peserta pemilu dan rakyat dapat membaca, penempelan pengumuman dilakukan minimal selama sebulan setelah pemilu usai. Dengan demikian tidak ada alasan peserta pemilu dan rakyat mencurigai pemilu 2009 tidak fair.
Pasal 181 UU No 10/2008: PPS wajib mengumumkan salinan sertifikat hasil perhitungan suara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 180 ayat (2) dari seluruh TPS di wilayah kerjanya dengan cara menempelkan salinan tersebut di tempat umum.
Pasal 180 ayat (2): KPPS (Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara) wajib memberikan 1 (satu) eksemplar berita acara pemungutan dan perhitungan suara serta sertifikat hasil perhitungan suara kepada saksi Peserta Pemilu, Pengawas Pemilu Lapangan, PPS, dan PPK (Panitia Pemilihan Kecamatan) melalui PPS pada hari yang sama.
Untuk tingkat PPK diatur pada Pasal 182 ayat (5). Untuk tingkat kabupaten/kota diatur pada Pasal 187 ayat (4). Untuk tingkat provinsi diatur pada Pasal 191 ayat (4).
Tak Terjadi Riak
Jika saja pada Pemilu 2004 undang-undang dipatuhi, niscaya tidak terjadi riak-riak. Memang pada UU Pemilu Nomor 12 Tahun 2003 belum diatur hal pengumuman (penempelan) hasil rekapitulasi untuk publik, tetapi wajib diberikan kepada peserta pemilu. Karena formulir C1 dan turunannya sebagaimana yang diamanatkan UU 12 Tahun 2003 Tentang Pemilu merupakan hak peserta pemilu.
Pasal 96 butir (11), pasal 97 butir (6), pasal 98 butir (6), pasal 99 butir (8), pasal 99 butir (8) dan pasal 100 butir (9) menyebutkan salinan berita acara dan sertifikat hasil perhitungan suara dari tingkat PPS sampai KPU Pusat wajib diberikan kepada peserta pemilu.
Formulir C1 yang merupakan perhitungan suara PPS (Panitia Pemilihan Setempat) wajib diberikan kepada peserta pemilu. Sebab UU No 12 Tahun 2003 menyebutkan, penyerahan salinan berita acara tersebut selambat-lambatnya empat belas hari setelah pemilu sudah diberikan kepada peserta, namun hingga penetapan hasil pemilu, C1 tak juga diberikan. Sedangkan UU No No 10/2008 Pasal 180 ayat (2) penyerahan formulir C1 harus segera setelah perhitungan suara selesai.
Kedaulatan KPU
Kedaulatan KPU dan jajarannya yang tak memberikan dan mempublikasikan sertifikasi model C1 dan turunannya kepada peserta pemilu dan publik untuk pemilu legilsatif pada Pemilu 2004 (lihat tabel), jelas-jelas merupakan perilaku tak mengindahkan undang-undang dan membuat peserta pemilu serta rakyat bercuriga. Ini jugalah yang menjadi dasar penilaian bahwa orang-orang yang duduk sebagai legislator kurang legitimet.
Orang-orang yang mengku wakil rakyat sementara duduk di lembaga legislatif melalui pencurian suara, apakah yang dapat diharapkan rakyat darinya? Layak diduga ketika duduk di lembaga legislatif, orang-orang seperti ini akan ’menjual’ suara rakyat untuk kepentingan diri dan kelompok kecilnya.
Tabel Prosedur yang Harus Dilakukan KPU dan Jajarannya Sesuai UU No 12 Tahun 2003 dan UU No 10 Tahun 2008
Kualitas Tinta
Dalam pada itu, ‘keriuhan’ atau riak pemilu presiden putaran pertama karena kualitas tinta yang rendah sehingga luntur saat terkena air. Juga adanya perhitungan ulang karena alasan surat suara salah coblos. Tetapi formulir C1 hasil murni TPS tetap diberikan kepada peserta pemilu.
Pada pilpres tahap kedua, apa yang terjadi di pemilu legislatif maupun di pilpres putaran pertama cenderung tidak terjadi lagi. Wajar, kalau kita ucapkan hormat dan terimakasih atas kesanggupan dan kemauan KPU (Komisi Pemilihan Umum) memberikan atau menyerahkan rekapitulasi perhitungan suara model C1 dan turunannya, yang merupakan suara murni rakyat, serta menutupi kelemahan-kelemahan pada pilpres putaran pertama.
Digugat ke MK
Hasil Pemilu Legislatif 5 April – sesuai pernyataan Wakil Ketua KPU (Komisi Pemilihan Umum) Pusat, Ramlan Surbaki kepada wartawan pada 10 Mei 2004 – digugat banyak peserta pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK). Namun, hampir semua gugatan tersebut kandas karena C1 sebagai bukti otentik hasil pemilu 5 April atau bukti sah untuk diajukan ke MK tidak dimiliki para penggugat.
Untuk mengantisipasi gugat-menggugat tidak terulang pada pilpres putaran pertama, KPU dan jajarannya ketika itu berjanji akan menempel hasil penghitungan suara di tempat umum. Apa yang dinyatakan Ramlan benar adanya. Tetapi itu semua ternyata tak menghilangkan ketidakpuasan peserta pemilu.
Pasalnya, kualitas tinta dianggap sedemikian rendah. Dengan demikian peserta pemilu menduga – karena kualitas tinta itu – memungkinkan seseorang atau banyak orang, untuk memilih lebih dari satu kali.
Sebab itu pula, pilpres putaran pertama, sampai dua pekan lebih riaknya masih berlanjut. Hampir setiap hari media-media massa – ketika itu – memberitakan soal ketidakberesan pemilu tersebut. Makanya Gus Dur pun, meminta Presiden Megawati membubarkan KPU (Kompas 20 Juli 2004).
Beberapa kalangan pun mempertanyakan legitimasi pelaksanaan pemilu pilpres putaran pertama tersebut. Kualitas proses pemilu dinilai rendah, berkaitan dengan praktik money politics (politik uang), kasus tinta palsu, dan salah coblos. Majalah Tempo pun pada Edisi 12-18 Juli 2004 mengangkat masalah ini.
Kecurigaan-kecurigaan demikian – karena menyambut pilpres putaran kedua – reda dengan sendirinya. Segenap komponen bangsa menyurahkan pikiran dan perhatiannya untuk kesuksesan pilpres putaran kedua tersebut. Sebab itu pulalah “pertarungan” pilpres putaran kedua yang begitu signifikan bagi pertumbuhan dan pengembangan demokrasi dapat terselenggara sebagaimana diharapkan.
Harapan 2009
Harapan peserta pemilu 2009, agar kondisi demokrasi makin lebih baik, dan lebih baik lagi, undang-undang yang telah ada (UU No 10 Tahun 2008 dan UU Nomor 22 Tahun 2007 tentang pemilu) dilaksanakan sebagaimana mestinya.
Jika tanpa data C1 tersebut, kita sudah melihat sendiri, orang-orang yang merasa suaranya dicuri (pada pemilu 2004), tidak dapat membawa masalah ini ke proses hukum. Ini dapat dilihat dari banyaknya kasus di MK (Mahkamah Konstitusi), yang mentok karena ketiadaan data (C1) yang merupakan satu-satunya alat (barang) bukti yang sah. Sebagai contoh, kandasnya pengaduan Parlindungan Purba (salah seorang calon Anggota DPD utusan Sumatera Utara) dan Mooryati Soebadio (calon DPD utusan Jakarta).
Pertanyaannya, apakah kita mau yang duduk di dewan adalah pencuri-pencuri suara rakyat yang merupakan suara Tuhan. Sedangkan suara Tuhan saja dicuri, apalagi yang lain.
Di Sumatera Utara sendiri, perjuangan APSRA (Aliansi Pemurnian Suara Rakyat) Sumatera Utara) untuk mendapatkan data C1 ketika itu tidak berhasil. Sulben Siagian, Ketua APSRA, Sukirman sekretaris, dr Robert Valentino Tarigan SPd (penulis) dan kawan-kawan, berkali-kali mendesak KPU Sumut untuk menyerahkan sertifikasi model C1 tersebut kepada peserta pemilu, namun tetap saja tidak berhasil.
Menyerahkan C1
Bertitik tolak dari hal itulah, kita berharap, agar hasil pemilu 2009 lebih berkualitas, KPU berkenan kiranya memberikan C1 kepada peserta pemilu baik dari partai maupun perseorangan (DPD – Dewan Perwakilan Daerah) serta menempelnya di papan pengumuman dari tingkat kelurahan hingga provinsi (lihat lagi tabel) selama satu bulan penuh. Dengan demikian, cita-cita proklamasi yaitu rakyat yang sejahtera segera tercapai karena wakilnya yang duduk berdasarkan pilihan rakyat..
Ke depan, agar bangsa ini semakin dekat dengan tujuan sejati demokrasi: dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, wajarlah kiranya KPU taat pada undang-undang dengan menyerahkan C1 hasil rekapitulasi kepada peserta pemilu. Dengan demikian, posisi legislatif kita kian hari makin legitimet. Bukankah kita semua merindukan apa yang diamanatkan oleh Homerus: fox populi fok dei, menjadikan suara (nurani) rakyat sebagai suara Tuhan?
Kenapa C1 harus diserahkan kepada peserta pemilu? Karena hal ini merupakan amanat dari UU Nomor 10 Tahun 2008 dan UU Nomor 22 Tahun 2007 agar orang-orang yang menduduki kursi legislatif sesuai dengan pilihan rakyat, bukan selera kelompok tertentu. Bayangkan saja, jika yang menduduki kursi tersebut adalah orang-orang yang berani mencuri suara nurani rakyat sebagai manifestasi suara Tuhan, apa yang terjadi? Mencuri suara ‘Tuhan’ saja ia berani apalagi melakukan kejahatan lain. Maka, jamak kita lihat orang-orang yang demikian, menduduki jabatan bukan untuk pengabdian, melainkan mengubah nasib.
Persoalannya, semua orang berharap yang duduk sebagai legislatif adalah pilihannya karena merekalah yang memperjuangkan aspirasi rakyat. Itu hanya mungkin terjadi dengan penyerahan C1 kepada peserta pemilu dan diumumkan kepada publik. Masalahnya, apakah KPU mau taat dengan undang-undang atau ada oknum yang sengaja melindungi pencuri supaya kenyamanan mereka mencuri bisa langgeng? ***
Pimpinan BT/BS BIMA Indonesia
Berpusat di Jalan Bantam No 6 A Medan.